Di usianya yang ke-30, Anne merasa ada yang salah dengan dengan pekerjaannya sebagai guru matematika di sekolah dasar. Ia menyukai anak-anak, dan mahir dalam matematika, tapi merasa ada yang kurang dan membuatnya gelisah dalam 7 tahun kariernya sebagai pendidik.
Untuk menjawab kegelisahan itu, ia mendatangi Paul D. Tieger dan Barbara Barron-Tieger, sepasang suami-istri ahli kejiwaan yang juga konselor pekerjaan. Pada mereka, Anne coba menjelaskan kegelisahannya. Pengalaman di SMA dan universitas,serta sejumlah tes minat bekerja menunjukkan Anne pada kariernya sebagai pengajar.
Ia juga awalnya merasa cocok dengan pekerjaan itu. Namun ada satu hal yang membuat dirinya merasa selalu tak puas yang menyebabkan ia pindah-pindah sekolah. Juga mengganti tingkatan-tingkatan kelas yang diajarnya. Tapi Anne tetap merasa tak puas—merasa ada yang kurang.
Paul dan Barbara pada kesimulan pertama juga sepakat kalau bakat Anne sebagai pengajar matematika bukanlah kesalahan. Seluruh tes menunjukkan bahwa Anne memang mumpuni. Tak ada yang salah dengan pekerjaannya. Lalu, Paul dan Barbara mencoba mengetes karakter Anne menggunakan tes kepribadian bernama Myerss Bryggs Type Indicator alias MBTI.
Dari hasil tes itu, akhirnya Paul dan Barbara menyarankan Anne untuk kuliah lagi supaya bisa jadi dosen. Berdasarkan tipe kepribadian Anne, ia ternyata punya tantangan inteligensi, kreativitas inovasi, dan kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya yang tak sesuai dengan sistem kaku sekolah dasar. Aturan mengajar dan buku-buku pelajaran yang itu-itu saja, serta tempat mengajar yang kecil ternyata menghambat stimulasi kreativitas Anne—sesuatu yang akhirnya membuat ia terus gelisah karena tidak tersalurkan.
Anne menuruti saran itu dan kini lebih bahagia dengan karier barunya sebagai dosen matematika di universitas. Akhirnya ia mendapatkan kepuasan yang ia cari.
Kisah Anne ini dituliskan Paul dan Barbara dalam makalah mereka berjudul "Mencocokkan Jenis Kepribadian: Langkah Awal Bagi Kepuasan Karier." Dalam makalah itu, kedua konselor pekerjaan ini menjelaskan betapa pentingnya mengenali karakter diri sendiri untuk memaksimalkan sektor-sektor tertentu dalam hidup, terutama karier.
Kasus Anne mereka contohkan sebagai bukti bahwa tes mengenali kepribadian ini benar-benar bisa membantu seseorang menemukan panggilannya. “Untuk mencintai karier kita—apa yang kita kerjakan, kita harus menjadi diri kita sendiri,” tulis mereka di pembuka makalahnya.
Untuk membantu proses itu, instrument yang digunakan Paul dan Barbara adalah tes kepribadian MBTI. Tes ini adalah hasil temuan dua perempuan ahli psikologi Amerika Katarine Bryygs dan putrinya Isabel Bryggs Myers yang dikembangkan sejak 1940. Psikotes ini memang dirancang untuk mengukur prefensi psikologis seseorang dalam melihat dunia dan membuat keputusan. Hasilnya bahkan bisa menjadi rujukan untuk mengukur potensi seseorang tak hanya dalam bidang yang dikuasainya, tapi juga cocok dengan karakter dirinya.
MBTI meyakini kalau manusia pada dasarnya memiliki karakter-karakter yang serupa. Namun, pembedaannya adalah kadar karakter tersebut di setiap individu. Dari penelitian yang dilakukan Katharine dan Isabel sejak 1917 ini, disimpulkan kalau manusia punya empat sifat karakter dasar yang dimiliki oleh semua orang.
Keempatnya dibagi ke dalam dimensi skala kecenderungan sifat manusia yang di antaranya adalah: dimensi pemusatan perhatian, dimensi pemahaman informasi dari luar, dimensi pembuat keputusan dan kesimpulan, serta dimensi pola hidup.
Masing-masing dimensi terdiri dari dua kutub yang berseberangan. Misalnya dalam dimensi pemusatan perhatian, kutubnya terbagi jadi introvert (I) dan ekstrovert (E). Dimensi ini adalah instrumen yang menjelaskan bagaimana seseorang akan berinteraksi dan mendapatkan energinya. Introvert artinya orang-orang yang mendapatkan energinya dari diri sendiri.
Hal ini yang biasanya membuat pribadi introvert bersifat lebih tenang, pendiam, tipe yang berpikir sebelum bertindak, lebih senang mendengarkan, lebih sering menyendiri. Sementara ekstrovert adalah mereka yang mendapatkan energinya dari dunia luar. Hal ini yang membuat orang-orang ekstrovert lebih senang bergaul di luar rumah, punya energi yang seolah-olah tidak habis-habis, dan senang bercerita.
Dalam dimensi pemahaman informasi dari luar, ada dua kutub bernama sensing (S) alias perasaan dan intuition (N) alias intuisi. Dua kutub ini akan menjelaskan bagaimana seseorang akan menangkap serta mengolah informasi yang didapatkannya. Orang-orang dengan perasaan cenderung mempercayai sesuatu dari apa yang mereka lihat dan alami sendiri, sementara orang-orang dengan intuisi lebih mengandalkan persepsi sadar mereka sendiri.
Sementara pada dimensi pembuat keputusan dan kesimpulan, thinking (T) alias berpikir dan feeling (F) alias merasa adalah dua kutub yang berseberangan. Bagi orang-orang yang berdiri di kutub berpikir, maka keputusannya sering kali diambil dari proses nalar berdasarkan logika dan rasionalisasi. Sementara bagi yang berdiri di kutub merasa, maka keputusan-keputusannya biasanya diambil dari kesimpulan subjektif yang tak jarang melibatkan pengalaman-pengalaman emosional. Biasanya orang-orang T akan menganggap orang-orang F terlalu melodramatis, sementara orang-orang F akan menganggap orang-orang T tidak punya hati.
Dan dalam dimensi terakhir, dimensi pola hidup ada dua kutub bernama Judging (J) dan Perceiving (P). dimensi ini mengukur pola hidup seseorang dengan membaginya menjadi orang-orang yang spontan atau tidak. Mereka yang berdiri di kutub J biasanya lebih suka hidup yang terstruktur dan terkontrol. Mereka rapi dalam memikirkan apa-apa saja yang ingin dilakukannya dalam hidup. Sementara orang-orang di kutub P, lebih fleksibel dan ingin tetap terbuka untuk menjalani semua kemungkinan. Mereka lebih ingin memahami dan merasakan hidup itu sendiri ketimbang mengontrolnya.
Berdasarkan kutub-kutub dalam setiap dimensi, MBTI akhirnya merumuskan 16 karakter yang punya keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Namun, MBTI yakin kalau pengkategorian ini justru bisa memaksimalkan kualitas hidup seseorang karena masing-masing karakter unggul di bidangnya sendiri.
Di antaranya adalah: ENFJ Sang Guru atau The Giver; ENFP Sang Pemenang atau The Inspirer; ENTJ Sang Komandan atau The Executive; ENTP Sang Visionaris atau The Innovator; ISFJ Sang Pengasuh atau The Nurturer, ISFP Sang Penggubah atau The Artist; ISTJ Sang Inspektur atau The Duty Fulfiller; ISTP Sang Perajin atau The Mechanic; ESFJ Sang Pemberi atau The Caregiver; ESFP Sang Penghibur atau The Performer; ESTJ Sang Pemantau atau The Supervisor; ESTP Sang Pekerja atau The Dynamo INFJ Sang Pelindung atau The Councelor); INFP Sang Penyembuh atau The Idealist; INTJ Sang Dalang atau The Mastermind; INTP Sang Perakit atau The Thinker.
Di dunia kerja, MBTI memang psikotes yang paling sering dipakai. Menurut Paul dan Barbara, lebih dari 500 perusahaan yang pernah bekerja sama dengan mereka menggunakan tes ini sebagai prefensi untuk mengetahui potensi karyawan.
Bak semua teori dan ilmu pengetahuan yang selalu punya pihak-pihak yang meragukannya, konsep psikologi yang berkembang dari teori Tipe Kepribadian milik Carl G. Jung ini banyak pula diragukan kualitasnya oleh para ilmuan lain. Salah satunya oleh David J. Pittenger. Dalam makalahnya berjudul "Measuring MBTI… And Coming Up Short," ia menyangsikan ketepatan ramalan MBTI. Menurutnya, manusia tak bisa cuma dikotak-kotakan dalam 16 karakter.
Namun, dalam artikelnya "Soul Searching Through the Myerss-Briggs Test" di The Atlantic, Ilana E. Strauss menggambarkan kalau MBTI memang bisa membantu seseorang lebih mengenal dirinya sendiri, meski sejumlah peneliti meragukan klasifikasi 16 karakter tersebut.
Sejumlah orang-orang asing berkumpul setelah mendiagnosis karakternya melalui tes MBTI. Mereka semua mengaku MBTI membantunya mengenal potensi-potensi dalam dirinya, membantu mereka memahami apa-apa yang tidak mereka sukai agar menjadi pribadi yang lebih berkualitas. Dalam diskusi itu, mereka memperkaya dirinya dengan perspektif 4 dimensi skala kecenderungan sifat manusia yang ada dalam MBTI. Mereka coba memahami masalah-masalah hidupnya melalui dimensi-dimensi tersebut.
Ilana mencontohkan seorang gadis ENFJ yang akhirnya lebih mengenali pacarnya yang INFP setelah mengikuti diskusi tersebut. “Mungkin tes kepribadian ini memang tak sempurna, tapi (dalam level tertentu) ia berperan untuk menggali gairah seseorang dalam mengenali diri sendiri, dan memahami sesamanya,” tulis Ilana.
Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan menarik lainnya Aulia Adam
0 komentar:
Posting Komentar